Hiruk pikuk di ruang-ruang pagi, membangunkan segenap gelisah yang sebelumnya berhasil disimpan dalam gudang-gudang tua dan tak berpenghuni lagi. Kau menjeritkan banyak kalimat tanpa tanda baca. Aku hanya bisa termangu di tepian jendela. Nyaris putus asa.
Embun terakhir yang menempel di kaca yang basah, terhapus seketika oleh amarah tak tentu arah. Runcingnya kata-kata yang melebihi duri-duri kaktus, menghunjam langsung pekarangan hati yang mendadak tandus. Kau berdiri di hadapanku dengan sepasang mata berkelambu. Aku cuma sanggup terpaku. Benar-benar gagu.
Terkadang rindu memang gagap. Seringkali juga bertindak kalap. Tapi kita adalah pengemudi waktu. Jangan sekalipun menggerutu jika tak perlu. Perjalanan pulang punya jejaknya sendiri. Kita akan sampai tanpa harus menghapus keteguhan hati.
Dalam gegap-gempita kekacauan di kepala, kita berdiam di dalamnya, membangun rumah sekaligus keranda. Rumah untuk tinggal, dan keranda bila rencana demi rencana berjatuhan gagal.
Ingatlah satu hal. Almanak satu persatu ditakdirkan untuk tanggal. Tapi kita berhak menuliskan di angka mana kita akan tinggal. Berjanji kepada langit. Bahwa bumi tak selamanya menghadirkan rasa sakit.
Bogor, 30 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H