Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Pada Suatu Masa Ketika Lautan Berfilosofi Cinta

Diperbarui: 26 Maret 2019   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Laut punya cara sendiri, untuk menyatakan keganasan, lalu menyatukan keinginan. Dalam kerasnya badai dan panjangnya garis pantai yang landai.

Bila saja terjadi lautan sanggup menghapus airmata para ibunda yang merindukan anak-anaknya setelah sekian lama hanya disalami oleh suara, ia akan mengirim anginnya yang paling lembut, beserta kepak sayap burung camar menyambar permukaan rumput laut, agar para ibunda tersenyum syahdu, seperti saat menyusui anak-anaknya kala dahulu.

Jika lautan menjadi tempat terbaik untuk mengadu tentang hati yang tersayat-sayat oleh potongan masa lalu, ia akan mengirim lagu-lagu yang dinyanyikan paus biru, mengiringinya dengan seringai tajam peringatan melalui gigi taring ikan hiu, lantas memerintahkan separuh samudera tertawa, memberi isyarat bahwa masa lalu bukanlah kegagalan rencana, namun hanya selintasan berita yang kedaluarsa.

Ketika lautan menjadi tempat perhentian dan bukan persinggahan. Bagi para kekasih yang ditelikung hati pada rindu tak berkesudahan. Ia akan meminta para peri penghuni lautan dalam, agar diam. Supaya bisa mendengarkan dan akhirnya paham. Rindu bisa dinaikkan sanggurdi gelombang. Hingga bisa menjilati kaki pesisir yang telanjang. Tempat terapik para kekasih menunggu. Kabar terbaik tentang rindu.

Laut punya cara sendiri, untuk berkisah tentang perpisahan, lalu berkasih dengan pertemuan. Lelaki dan perempuan yang menautkan tali cinta pada galangan. Berharap selamanya tak terpisahkan.

Oleh paragraf tak pernah selesai, ending yang terburai, maupun tamat yang tak juga usai.

Jakarta, 26 Maret 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline