Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Labirin Hujan

Diperbarui: 24 Maret 2019   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Di bawah langit hitam yang sedang menggiring sekumpulan awan menuju tempat kelahiran hujan, cuaca meremangkan bulu kuduk para pejalan. Meniupkan hawa dingin. Membatalkan segala ingin.

Hujan mungkin tiba dengan tiba-tiba. Petir mungkin hadir tak terduga. Tapi siapapun tahu. Rindu pada cuaca seperti itu adalah sama dengan berbaring di ranjang berpaku masa lalu. Ngilu!

Jika akhirnya harus tersesat di labirin hujan yang lebih rumit daripada menyusuri kenangan, tak jadi apa selama pintu keluarnya tetap ada. Jika tidak, barangkali lebih baik menyudahi lamunan yang mengada-ada. Menyapa kembali realita. Apa adanya.

Di dalam labirin hujan, kita adalah mainan. Menjadi perahu kertas, terombang-ambing tak karuan, lalu koyak dan tenggelam.

Di dalam labirin hujan, kita berteduh di bawah atap yang nyaris runtuh, simbol dari niatan kita yang rapuh. Untuk berani mengambil keputusan; tetap di tempat terhindar dari kebasahan, atau kuyup tapi sampai tujuan.

TR, 24 Maret 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline