Kita duduk saling berhadapan. Sama sekali tidak ada perbincangan. Mata kita masing-masing tertuju pada hidangan yang sama-sama tidak kita inginkan. Beberapa potong kenangan, irisan masa silam, dan keping-keping kekacauan yang belum sempat dibereskan.
Kita enggan untuk bertukar tatap mata. Masing-masing menerawang ke arah yang berbeda. Aku dengan kekagumanku pada lingkaran tahun di meja kayu, dan kau dengan keherananmu terhadap kilas balik masa lalu.
Semestinya perbincangan kita lakukan secepatnya. Karena lonceng tanda mulai bekerja tak lama lagi menggema. Aku mengerjakan larik demi larik puisi yang tak jadi-jadi, sedangkan kau bekerja menjahit asa demi asa yang tertunda dengan rapi.
Kita mulai saja dengan perbincangan sederhana; apa kabarmu cinta? sudahkah kau hari ini memiliki rencana? Jika belum, bagaimana kalau kita mulai menatanya bata demi bata?
Dan perbincangan kemudian akan mengalir sederas makian di perempatan jalan, atau sederas hujan di musim ketika kemarau larut dalam kesedihan, atau sederas jeram sungai yang terhadang batu-batu besar berserakan.
Cuma itu yang sedari tadi kita butuhkan. Perbincangan sederhana di meja makan. Karena berdiam diri itu adalah pilihan yang mengenaskan.
Paham?
Pekanbaru, 20 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H