Bramasto mengusap lehernya yang berdarah dan memandang tak percaya ke sosok di hadapannya. Setelah itu menggelosoh pingsan tak berdaya di lorong kampus depan laboratorium kimia yang sepi.
-----
Malam puncak purnama. Bumi seperti disiram ribuan lentera. Angin berdiam tak hendak bergerak. Menunggu kejadian tak terduga. Atau malah yang sudah direncana.
Dan, suara lolongan panjang bersahut-sahutan mendadak mengiris-iris udara yang mencekam. Membuat 5 orang muda-mudi yang sedang duduk di beranda rumah kepala desa itu saling berpandangan.
"Sejak berada di desa ini 3 bulan lalu, aku merasa purnama selalu aneh Ming. Bulu kudukku selalu berdiri," gadis yang bernama Mira berkata lirih sembari bergidik.
Yang disebut Maming, pemuda kurus tinggi dengan wajah pucat menyahut tak kalah lirih," sama Mir. Rasanya setiap kali malam purnama hawanya terasa cukup mengerikan. Apalagi dengan banyak kejadian....."
3 temannya yang lain saling bertukar tatapan. Pemuda tampan yang nampak berperangai halus bernama Rama tersenyum dan berkata.
"Lebih baik kita jangan berpikir yang tidak-tidak kawan. Besok hari terakhir KKN di desa ini. Sudah sepantasnya jika kita buat situasinya happy ending."
"Rama benar. Malam ini sama dengan malam yang lain. Purnama yang cantik, angin sepoi-sepoi, lolongan falsetto dari serigala di hutan, sempurna!" gadis lain yang bernama Shinta ikut menukas.
"Iyesss! Malam ini sangat romantis!" Desis Vera sepakat dengan Shinta.
"Eh tapi ngomong-ngomong kemana Wanda dan Bramasto ya? Bukankah seharusnya mereka sudah kembali sekarang?" Rama bergantian memandangi teman-temannya.
"Seharusnya iya. Bramasto kan hanya mengantar Wanda ke warung telkom tak jauh dari sini? Desa ini benar-benar dikutuk zaman karena sama sekali tak ada sinyal ponsel!" Maming bersungut-sungut.