Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Kolase Warna Tak Biasa

Diperbarui: 24 Februari 2019   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Di sebuah senja yang belum menentukan warnanya apa. Aku menduakan mata. Satu menghadap arah tergelincirnya matahari, dan satu lagi menerjemahkan apa arti liukan uap tipis dari secangkir kopi. Di hadapanku yang sedang merundung diri sendiri kenapa begitu sulit melupakan makna sunyi.

Pada kegamangan yang siap meluncuri tubuh malam. Aku menyeduh untuk kesekian kalinya tatapan muram. Agar sama dengan warna senja kali ini. Tak lagi merona tapi buram terjungkal di tepian kali.

Di setiap riuh yang coba diskenariokan dengan kedatangan laron-laron pengudap nyala lampu. Aku bersaksi senja kali ini sangat membatu. Begitu keras kepala. Tak hendak menyamarkan kedukaannya. Terhadap apa yang disebutnya sebagai terluka karena cuaca. Setelah panas dan hujan diaduk sekenanya.

Di setiap ruh yang ditiupkan pada bayi-bayi yang baru akan dilahirkan. Aku mempercayai betapa kekuatan kesempurnaan adalah sebuah rahasia. Seperti bagaimana Dia merahasiakan doa-doa mana yang sampai kepadaNya. DidengarkanNya. Lalu keputusan selanjutnya kembali menjadi rahasia.

Pada suatu senja ketika aku terpaku hanya untuk menikmati kolase warna tak biasa. Aku lah yang kali ini memutuskan mengungkap sebuah rahasia. Dari kata-kata. Bahwa senja ternyata lebih dari rangkaian tatapan memuja. Lebih dari itu, senja adalah cermin terbaik untuk menyadari ternyata usia akan sampai juga pada batasnya.

Walau pagi akan selalu datang dan menyembunyikan keriput di ujung mata.

24 Februari 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline