Pada suatu ketika, kita mengunjungi orang-orang sedih, yang memberi tanda pada pintu rumah mereka; sedang berduka.
Mungkin ada yang hilang di sana. Entah apa. Yang pasti itu adalah rasa.
Kita berbela sungkawa. Dengan cara-cara biasa, menundukkan muka, mengelus dada, lalu berkata; ikut berduka.
Kita menyalami yang kehilangan. Menyampaikan juga rasa ikut kehilangan. Di hadapan mata mereka yang berkaca-kaca, kita mengumpulkan serakannya, dalam satu keranjang kedukaan.
Di dalam rumah, tak ada jenazah. Atau persiapan pemakaman. Atau bekas keberangkatan. Dari rasa kehilangan.
Kita lantas bertanya-tanya; ada apa gerangan?
Orang-orang sedih yang berduka. Menjawab apa adanya. Dengan kesedihan tak terkira; Kami kehilangan hal terpenting. Anak-anak kami menghilang ke dalam gawai masing-masing. Sementara kami orang tua, hanya bisa menyaksikan mereka, tertawa-tawa, bermuram durja, oleh sebab-sebab sederhana. Layar di genggaman mereka mengajak bercanda. Juga mengabarkan duka.
Kami sama sekali sudah tak ada. Di mata mereka.
Karena itulah, di pintu rumah kami, ada tanda berduka.
Juga rumah-rumah tetangga. Juga rumah-rumah di kelurahan sana. Juga rumah-rumah nyaris di seluruh negara. Bahkan rumah-rumah di seluruh dunia. Terpasang tanda di pintu mereka; sedang berduka.
Bogor, 10 Februari 2019