Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Spektrum Warna Cinta

Diperbarui: 10 Februari 2019   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Kita nyaris saja kehilangan percakapan, di sela-sela pagi yang bergumam. Memang sebaiknya kita diam. Melihat pagi seutuhnya, adalah karunia yang istimewa. Mendengar pagi berbicara, adalah hal terbaik yang pernah ada di dunia;

Dari mulutnya, menguar harum kamboja, bercerita tentang tanah-tanah yang mendingin dan kematian yang kedatangannya serupa angin. Tak diketahui namun adanya adalah pasti.

Matanya sedikit berkaca-kaca. Bukan karena kesedihan atau menghiba, pagi hanya sedang membiarkan barisan embun menyungai di pipinya yang merona. Bagi pagi, embun adalah caranya menyampaikan salam perpisahan, bagi malam yang beranjak pergi.

Di pipinya yang merona, lahirlah cahaya matahari yang pertama. Mengelus, mengendus, mencumbui. Dalam kehangatan yang bukan termasuk gairah birahi.

Suara-suara pagi mengeluarkan burung-burung elok dari mulutnya yang semanis kurma.

Beterbangan mengitari udara, sembari menyanyikan kidung-kidung kegembiraan, tentang kebahagiaan yang sebenarnya tak pernah menjauh dari jiwa, selama jiwa itu tak membuka pintu bagi kamuflase dan fatamorgana.

Tepat saat pagi mulai berdiam diri. Kita memulai percakapan tanpa henti. Berbincang tentang apa saja yang terkait mimpi, pagi dan hati.

Dalam mimpi kita, di setiap pagi kita, kita selalu bersama-sama menggambari hati dengan spektrum warna cinta.

Bogor, 10 Februari 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline