Semenjak kapan. Kau menolak untuk menyaksikan saat-saat bahagia saling berlaga. Ini memang belum purnama. Tapi setidaknya kau bisa merasakan hawanya dari sana. Dari langit berbahagia yang telah berhasil membujuk beberapa bintang yang juga bahagia namun malu-malu untuk bertemu dengan matamu.
Kau nampaknya masih terpengaruh dengan hujan yang menghipnotismu begitu dalam. Sebagian pikiranmu disinggahkan olehnya di batas pengertian tentang bahagia yang sesungguhnya sangat getas. Tak lama juga akan terputus seperti karet gelang yang terlalu direntang dalam ruang ketegangan.
Ayolah! Berhenti sekejap melamunkan gurauan hujan yang menyebutmu sebagai perempuan tanpa ratapan. Kau mempunyai banyak stok di ruang hatimu mengenai itu, bukan?
Begini saja. Ada baiknya kau sedikit memusatkan perhatian pada bulan sabit di kaki langit. Lihat baik-baik, masih tersisakah perkara pelik?
Jika memang masih ada, ulurkan tanganmu merasakan partikel tak kasat mata yang sekarang coba menyentuhmu. Ya, kabut memintamu menjadikannya selimut. Terlalu hangat akan menyeduh pikiranmu ke dalam bisingnya luput.
Kau tak mau itu. Aku tahu. Jadi, kembalilah menjadi dirimu yang dulu pernah berdansa habis-habisan dengan kenangan untuk memastikan bahagia masih terlalu jauh untuk dikatakan. Apalagi untuk dirasakan.
Bayangkan saja dirimu saat ini sebagai algoritma. Kau sedang menghitung berapa banyak langkah untuk secepat-cepatnya bisa memprogram bahagia. Kau telah terlalu lama duduk di ruang tunggu. Dan itu benar-benar membuatmu jemu.
Begitu?
Atau apakah bahagia bagimu adalah sesederhana jika aku berucap rindu?
Bogor, 8 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H