Langit tercipta karena ruang kosong yang diisi warna. Biru hanya penyaru rindu yang kita paksakan ada karena kita menyukainya.
Bumi bulat atau datar adalah paradigma yang singgah di kepala para intelektual. Sedangkan para petani dan nelayan tidak mempermasalahkan karena bagi mereka yang sangat ditakutkan adalah panen padi atau ikan yang gagal.
Semua itu adalah aksioma yang sudah lama berdiri pada kebenaran.
Biarpun angin mendadak bisu tanpa suara bisikan. Kita tetap percaya dan paham pada kepastian. Sebab dada kita masih berdetak kencang. Itu bukan perdebatan. Hanya pertanyaan yang singgah sebentar di saat kita sedang merenungkan tipisnya kemungkinan.
Kadangkala kita melepaskan rasa percaya yang ada jika ikatan kita mendadak terlepas dari takdir yang tak memihak kita. Kita menjadi tidak terima secara tergesa-gesa. Lupa kalau ketergesaan mudah memburu-buru pandangan mata. Begitu dekat dengan airmata.
Kita melakukan perlawanan dengan keterlaluan. Padahal takdir punya cara sendiri untuk menunjukkan tidak ada permusuhan yang dihadirkan.
Kita memang diciptakan mulia. Tapi seringkali kita berlaku terlalu aniaya.
Terhadap apa saja.
Juga siapa saja. Yang tak sepaham dengan kita.
Jakarta, 6 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H