Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Stereotip Kota

Diperbarui: 4 Februari 2019   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

id.yourtripagent.com

Pagi menari-nari
di atas kota yang penghuninya kebanyakan lupa melihat
sebab matanya terpaku pada angka-angka
juga lupa mendengar
sebab telinganya berdengung sekeras lebah pekerja
 
Pagi menghentikan tariannya
digantikan dengan mengalunkan tembang-tembang kegembiraan
di tengah kota yang penghuninya menutupi gendang telinga
sebab kegembiraan cuma ada di radio
juga membebat pupil mata
sebab kebahagiaan hanya dipertontonkan televisi

Pagi menghentikan semua
kali ini mengirimkan misai matahari
menyengat langsung kota yang penghuninya meletakkan mata
di pinggan sarapan dan lalu lintas yang menggulana
juga menitipkan telinga
di jalan layang dan halte bus kota

Kota adalah ujung dari khayalan seseorang
di sana banyak menjual kubangan harapan, dengan harga recehan
di sana juga disediakan kuburan, dengan semahal-mahalnya bayaran

Kota adalah stereotip dari sebuah kerumitan
dan kita tinggal di dalamnya tanpa sedikitpun kemudahan
lalu kita menjadi peminta-minta, dari asa demi asa yang jatuh berguguran

Jakarta, 4 Februari 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline