Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Sayatan-sayatan Hujan

Diperbarui: 31 Januari 2019   18:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Seringai kegelapan muncul di atas kota yang detak jantungnya lebih dihidupi oleh cahaya. Mau tidak mau kepalanya yang kaku tertunduk kelu di antara rimba menara kaca yang merupakan anak-anak kebanggaannya.

Hujan rasanya akan menuruni undak-undakan langit yang juga kehilangan cahaya setelah dilahap habis oleh senja. Bila memang jadi datang, kota akan basah kuyup, tenggelam dalam kabut yang diperberat oleh logam-logam tak kasat mata.

Orang-orang berlarian mencari perlindungan. Hujan memang menyenangkan. Tapi juga menakutkan jika melibatkan malam. Tak ada yang sanggup memastikan apakah bulir-bulirnya yang berjatuhan adalah benar-benar air biasa. Bukannya tajam kata-kata yang dihamburkan oleh kota yang berbisa.

Didahului oleh gerutu ragu-ragu petir yang coba mengharu biru, pekat sepenuhnya jatuh tengkurap. Menelungkupi kota yang berusaha seadanya meralat hilap. Dari kekeliruan yang mungkin hari ini terlanjur dicaci-makikan. Kepada orang-orang yang telah memeras nafasnya hingga bibirnya bergemeletukan.

Cahaya-cahaya lampu ibarat sabetan lengan ilalang. Setajam mata pedang. Memperkenalkan luka-luka pada peristiwa kelumpuhan hari. Ketika hujan yang menari-nari lebih dirasakan sebagai pedihnya sayatan-sayatan hati.

Jakarta, 31 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline