Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Fragmentasi Puisi

Diperbarui: 31 Januari 2019   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Puisi-puisi cinta bergelimpangan setelah dipatahkan kakinya. Tergeletak di perempatan jalan, pertigaan sungai, dan persimpangan antara surga-neraka.

Puisi-puisi sherpa memandu para petualang yang benaknya dikuasai matahari, gunung dan lautan. Mengiringi perjalanan imajinasi saat mereka tertidur sementara batinnya mendengkurkan pengembaraan.

Puisi-puisi ratapan atas derita yang di banyak tempat bebas berkeliaran. Terutama ketika dunia dikuasai sorot mata tamak berkilauan lalu menyediakan peluru-peluru untuk prasmanan. Perjamuan sempurna bagi kematian.

Puisi-puisi ringkih yang merintih lirih di atas bangkai filosofi tinggi yang hendak mengajak orang-orang untuk menjadi lebih berani menghadapi ketidakadilan yang pelan-pelan berusaha membunuh bumi. Ajakan yang diiyakan oleh sebagian kecil orang yang pada akhirnya menyisihkan hati untuk peduli.

Puisi-puisi berapi yang menyala-nyala di atas ubun-ubun kepala. Mencoba menghanguskan usia yang makin renta dengan cara mengawetkan kebaikan sehingga tidak ikut masuk dalam keranda.

Fragmentasi puisi dipersembahkan bagi semua orang yang berharap dunia menjadi lebih baik dengan cara menerima bait dan syairnya sebagai peringatan. Bukan sekedar sebuah perayaan kata-kata yang diritualkan.

Jakarta, 31 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline