Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Rindu Membiru di Antara Sungai Musi dan Langit Bisu

Diperbarui: 28 Januari 2019   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Aku melewati ladang kapas yang entah bagaimana telah dipanen angin. Bertebaran ke delapan penjuru. Mencari-cari kesesuaian suhu, perekat yang bergaharu, agar bisa dipintal menjadi rindu.

Sementara aku, sedang berpikir keras bagaimana caranya menenun sembilu. Supaya ia tak lagi melukaimu. Luka karena sayatan rindu sukar disembuhkan. Kecuali jika kenangan bisa dengan mudah memaafkan.

Di ketinggian dengan udara setipis irisan-irisan tangis, aku menghembuskan nafas secara ritmis. Teringat kepadamu yang mungkin sedang menyatukan kepingan murung. Menjadi satu dalam irama detak jantung.

Saat kembali membaui permukaan bumi, aku menata caraku menyapa dengan hati-hati. Ini wilayah sungai Musi. Sungai yang mengilhami kehadiran kerajaan besar. Ketika dulu sayap Sriwijaya menyambar-nyambar.

Lagi, aku teringat kepadamu. aku yakin kali ini kau merangkai roncean kembang sepatu. Sebagai cara terbaik bagimu memberi simbol pada rindu. Entah kepadaku. Atau terhadap Sungai Musi yang permukaannya tiba-tiba membiru. Sebagai cermin sempurna bagi langit yang memutuskan bisu.

Palembang, 28 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline