Kau perempuanku!
begitu gerutuku,
sambil memunguti lembar demi lembar puisi cinta yang berjatuhan
aku tuliskan itu berulang-ulang
di dinding hujan yang suara kedatangannya mirip pawai kemerdekaan
ini mungkin yang disebut epilepsi rindu
penyakit kejang-kejang menakutkan
yang menimpa ujung perasaan
tapi benarkan demikian?
atau ini hanya sugesti yang ditimpakan bagi seorang lelaki
karena hatinya lenyap tercuri
barangkali kau memang ditakdirkan menjadi perempuanku!
kali ini bukan lagi gerutu, tapi aku berseru
sembari mengingat-ingat alamat cinta yang sempat aku catat
aku hendak berkirim surat;
ketahuilah, aku telah tak berpunya
kau melanun lamunanku dengan semena-mena
sampai jantungku tak ketahuan rimba
kau ambil detaknya
entah kau buat apa
tapi rasanya aku menduga kau jadikan jam dinding
menemanimu di kamar yang hening
supaya kau tahu aku masih ada
supaya kau tahu kau tak kehilangan cinta
Bogor, 11 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H