Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Meramu Hujan Terakhir

Diperbarui: 6 Januari 2019   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

news.detik.com

Saat yang tepat untuk meramu hujan terakhir senja ini ke dalam perjamuan makan malam. Kita duduk berhadapan. Saling melempar pandangan. Tanpa perbincangan.

Kita telah terlalu banyak berbincang. Kita juga sudah kehabisan bahan pertengkaran. Kita sepakat memutuskan diam. Menikmati hidangan hujan. Sembari merangkai kembali awan di mata. Besok akan kita lepaskan ke angkasa. Bersama-sama.

Kita sedang memasuki tahap sinis terhadap ratapan dan tangis. Bagimu tangis tak lebih dari ungkapan rasa yang ritmis. Bagiku tangis adalah gejala klinis bahwa kita sedang meresapi takdir secara filosofis. Mengarah tragis.

Kita juga sedang beranjak menyingkirkan onak dan ular beludak di kepala kita. Pikiran kita terluka. Berdarah-darah menuju nanah. Meruyak parah.

Apa tidak sebaiknya kita berdua menjadi saksi atas kelahiran purnama. Siapa tahu kita beruntung kejatuhan cahaya. Tepat di jiwa kita yang seolah merana. Padahal sesungguhnya kita hanya melangkah terbata-bata. Lupa arah kemana.

Bogor, 6 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline