Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Khayalan sebagai Basis Menulis Fiksi

Diperbarui: 5 Desember 2018   12:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fnuratika012.blogspot.com


Cermin
Selamat pagi. Ini bukan sebuah tips. Juga bukan tricks. Bukan pula himbauan. Tak lebih dari sebuah igauan. Karena semalam saya bermimpi. Pagi ini harus menulis ini.

Dalam menulis sebuah fiksi, saya sangat mempercayai intuisi. Saya menangkap semua jejak khayalan yang lewat, kemudian saya biarkan dia mengembara dalam pikiran saya. Sejauh-jauhnya, seluas-luasnya, sebrutal-brutalnya.

Terus terang saya tidak sanggup mengekang khayalan saya yang seringkali membabi buta. Saya tidak bisa membatasinya dan saya memang sengaja tidak menciptakan batas. Khayalan yang dibatasi hanya akan berakhir pada kenyataan yang dipaksakan. Itu menurut saya.

Dari sebuah cermin khayalan, saya memantulkan banyak hal yang terkadang bagi saya sendiri tidak masuk akal. Tapi saya tidak menghentikannya. Saya menyerahkan sepenuhnya khayalan itu hendak berlari kemana. Ke dunia mistis, sajak-sajak liris, gerimis yang menimbulkan rasa skeptis alih-alih optimis, atau keinginan romantis yang klinis, semua dibiarkan mengalir. Tidak seperti air. Tapi lebih mirip udara. Bisa mengisi ruang apa saja.

Mengkhayal lah Sepuas Hati
Ini sebuah keyakinan untuk membangkitkan inspirasi dalam menulis fiksi. Satu contoh kecil yang saya terapkan sendiri;
saat naik kereta api yang berjejal-jejal seperti tumpukan sarden yang pejal, saya seringkali mengintip ekspresi muka orang-orang. Ada yang terkantuk-kantuk, menunduk menikmati goyangan tubuh kereta, mengangguk-angguk sambil mendengarkan musik, dan masih banyak lagi. Saya lalu mengembangkan khayalan saya.

Jika saja ada salah satu dari mereka adalah zombie, kekacauan luar biasa pasti tercipta. Hiruk-pikuk orang berdesakan ingin melarikan diri, jeritan-jeritan menyayat hati saat gigi si zombie terbenam di leher, teriakan-teriakan lantang saling bertabrakan dengan riuh-rendah suara tubuh-tubuh yang kelojotan bertransformasi menjadi zombie, tatapan ngeri dan putus asa orang-orang yang pasrah dengan nasibnya. Lalu?

Dalam khayalan saya, saya berpikir mau lari kemana. Saya harus berbuat apa. Terangkailah skenario khayalan selanjutnya. Tak putus-putus. Sambung menyambung. Tapi saya sudah punya endingnya. Saya tidak mati dan tidak menjadi zombie.

Begitulah sekelumit khayalan jika diberikan ruang. Bisa menjadi sebuah rangkaian cerita apa saja. Horror, elegi, romantis, bahkan futuristik! Semua tergantung dari seberapa banyak kita ingin membiarkannya dan juga ketersediaan batas waktu tentu saja.

khayalan yang sempat terputus oleh jeda waktu akan merubah segala-galanya. Saat saya sudah turun dari kereta kemudian berganti ojek menuju kantor, khayalan berikutnya sudah menunggu. Khayalan sebelumnya? Telah menjadi hantu.

Oleh karena itu begitu punya kesempatan sekecil apapun. Tuliskan kata-kata kunci dari khayalan itu tadi. Di kertas atau gawai. Sederhana saja;
- kereta penuh sesak
- zombie
- kota yang terkena wabah
- saya berhasil melarikan diri ke pulau terpencil bersama penyintas lainnya

Memang sederhana. Tapi jika kita mengabaikannya, kita akan terperangkap lupa. Lalu mengharap pada khayalan berikutnya. Itu sia-sia menurut saya. Khayalan berikutnya belum tentu seheboh yang sebelumnya.

Akhirnya
Karena khayalan adalah sumber inspirasi yang begitu kuat. Jangan sampai sedikitpun terlewat. Lupakan tidur di perjalanan! Itu sama dengan membuang waktu berharga. Hanya untuk dengkur dan air liur!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline