Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Ketika Embun Tak Lagi Bernafaskan Api

Diperbarui: 30 November 2018   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TribunStyle.com - Tribunnews.com

Di suatu tempat. Di sebuah pagi. Ketika embun yang datang adalah api. Maka itu adalah keping kemarahan yang merusak. Membuat semua hal lantas luluh lantak.

Di suatu ketika. Saat hujan yang merana. Tiba dengan wajah kuyu. Rintiknya terasa begitu ngilu. Maka musim sedang tertatih. Tak sanggup lagi mengalah pada pedih. Manakala angin bertiup gerah. Membawa gelombang panas dan dingin tak tentu arah.  

Di suatu rencana. Waktu keberangkatan tak bisa ditunda. Namun kepulangannya selalu tak pernah tiba. Maka mungkin takdir sedang berbicara. Apa adanya. Tidak mengada-ada.

Di suatu senja. Ketika langit memuntahkan warna lava. Lalu jendela ditutup tergesa-gesa. Tak sanggup menyaksikan. Semburat merah yang melambangkan kepergian. Tapi tidak mengisyaratkan kedatangan.

Di suatu waktu. Jika rindu lantas mengaku. Melalui pertanda ringan. Tangkai kembang sepatu mekar beriringan. Maka memang tiba masanya. Untuk tidak lagi berlaku durjana. Mengatakan terus terang. Kita akan saling bergenggam tangan.

Menyambut esok pagi. Ketika embun tak lagi bernafaskan api.

Tanjung Redeb, 30 Nopember 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline