Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Hujan Kunang-kunang

Diperbarui: 28 November 2018   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dalam diam. Aku mencari kata kehilangan. Setelah perpisahan yang tak terhindarkan. Mengakhiri pertemuan yang tak direncanakan.

Ada satu bintang di langit yang biasa melintas. Lenyap tak berbekas. Seolah kandas di suatu tempat. Atau melambat. Karena lupa jalan pulang. Atau sengaja untuk tidak datang.

Bersama malam. Aku putuskan untuk berbela sungkawa. Dengan melakukan sedikit upacara. Meminta barisan kunang-kunang. Mempawaikan kesedihan. Melalui cara-cara tak biasa. Membuang semua cahaya yang dimilikinya. Lalu mendermakannya pada cuaca.

Sehingga hujan tiba. Dengan cara luar biasa. Bukan rintikan gerimis. Namun percikan cahaya yang menyerupai tangis. Hujan kunang-kunang. Menggantikan musim basah yang centang perenang.

Sehingga kemarau tiba. Dengan cara istimewa. Bukan terik yang menggantang. Namun kerontang yang membingungkan. Kemarau bersayap kunang-kunang. Mengenyahkan musim kering yang lintang pukang.

Seberang Derawan, 27 Nopember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline