Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Pada Setiap Musim Hujan

Diperbarui: 19 November 2018   23:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

kita duduk di serambi depan. Bersitegang tentang waktu kedatangan bulan. Ini musim hujan, bulanpun kedinginan. Itu kataku mulai berseteru. Kau nampak tegang. Bulan selalu patuh terhadap waktu. Tidak pernah kedatangannya akan keliru. Begitu katamu. Sambil melipat batu di hatimu.

kita coba membenahi percakapan. Sambil menyaksikan hujan terus menciptakan genangan demi genangan. Begitu pula kenangan. Kita mulai merajutnya pelan-pelan.

bagaimana dengan sungai yang tak henti mengalir dari mata. Bukankah kau sudah belajar cara-cara melepas beberapa perkara yang membuat hati menyala? Kau jawab dengan tawa berairmata. Aku tidak berduka. Pada setiap perjalanan selalu ada jalan setapaknya. Ini hanya duri yang menancap di hati. Kau hanya bisa mencabutnya ketika kau mati.

aku mengerutkan kening pada hening. Berharap sangat hujan cepat mengering. Pada setiap musim hujan kau selalu pintar menciptakan drama. Kau pelakon utama. Sementara aku tak lebih hanya penata riasnya.

aku membubuhkan maskara setiap kali kau lunturkan dengan airmata. Aku beri kau perona setiap kali kau memucatkan muka. Aku merahkan bibirmu dengan saga berulangkali. Agar senyummu tak sepias layunya melati. Kau suka bermain dengan skenario terburuk. Padahal penonton tak hendak lagi akhir yang teruk. Mereka pun ingin pulang dengan bahagia. Sedangkan kau selalu tak sengaja nyaris selalu memulangkan bahagia.

pada musim hujan kali ini. Aku akan memaksamu berhenti. Bermain drama tentang reinkarnasi sunyi. Yang membuat kita hampir selalu kehilangan mimpi.

Bogor, 19 Nopember 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline