Terhadap matahari,
bagaimana membaktikan setiap cahaya yang diderma. Untuk menggugah malam yang gelap mata, menuntun pagi yang membuta, dan menerangi sisa hari yang kehilangan penglihatannya.
setelahnya,
membuat perapian dan menyinggahkan siapapun yang kedinginan. Menjerang air hangat dan memberi minum siapapun yang tercekat tenggorokan. Termasuk juga mengembalikan cahaya pada hati yang mengeriput. Kusut dan berkabut.
Terhadap bumi,
bagaimana membaktikan setiap remah tanah yang disediakan. Untuk menumbuhkan bunga dan bukan duka, untuk mengikat akar dan bukan makar, untuk dijadikan pemakaman dan bukan sebuah pembuangan. Jiwa-jiwa yang terlanjur muram.
sesudahnya,
mencangkul jengkal demi jengkal untuk membuat guludan. Bertanam apa saja. memberi makan siapa saja. Atas nama kasih dan cinta.
Terhadap langit,
bagaimana membaktikan setiap hujan yang turun. Ke dalam kepedulian turun temurun. Pada setiap kesakitan yang singgah di depan rumah. Pada segala kebingungan yang lupa arah. Pada keraguan yang menghambat perjalanan. Menuju pulang.
selanjutnya,
memberikan hak langit akan warna biru. Tidak mencampurnya dengan abu-abu. Karena itu semua simbol yang lekat. Pada janji atau khianat. Tentang kepastian dari sebuah keputusan. Bukan keputusan yang masih akan dipastikan.
***
Kuantan Singingi, 13 Nopember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H