Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Menulisi Langit

Diperbarui: 6 November 2018   07:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pesawat berguncang pelan. Menabrak ladang kapas yang ditanam secara tak beraturan. Belum saatnya panen hujan. Nanti. Ada waktunya. Ketika musim memberi isyarat. Lihat tanah-tanah itu menggeliat-geliat sekarat.

Entah sampai mana batas langit. Tapi jika rindumu hilang di sini. Aku yakin akan sulit ditemukan. Hilang di rerimbunan bunga-bunga kapas yang selalu berpindah tempat. Atau bisa jadi terbakar matahari yang tak henti meludahkan sengat.

Hanya sekilas. Bukit Barisan di bawah sana. Berbaris rapi. Setelahnya berantakan lagi. Tertutup bunga-bunga kapas yang terus saja berlari. Menghindarkan tubuhnya dicumbu angin yang sedang pada puncak birahi.

Juga sekilas saja. Selat Melaka bertaut muka dengan negara tetangga. Sama-sama mengucap salam. Menggunakan dialek Melayu yang mendayu-dayu. Mungkin juga saling berpantun. Bila perompak menghampiri perahu. Beri saja harta jangan kemudi. Bila hendak melampirkan rindu. Tuliskanlah dari kedalaman hati.

Pekanbaru, 6 Nopember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline