Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Ketika Akhirnya Bumi Hanyalah Menhir

Diperbarui: 3 November 2018   13:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Berlembar-lembar ingatan. Dipampang seperti halaman koran. Di atas meja kayu. Dengan berpasang mata tertuju ke situ. Layaknya panglima perang Sun Tzu. Sedang menyiapkan strategi perkasa. Bagaimana cara desa mengepung kota.

Ingatan tentang pasir di pantai yang tiba-tiba menghilang. Tergerus arus yang setiap hari lalu-lalang. Membawa guludan plastik bertumpuk-tumpuk. Membunuh keindahan yang seketika berubah bentuk. Menjadi penglihatan buruk.

Juga ingatan tentang kekaisaran rimba. Kehilangan luas wilayahnya lebih dari dua pertiga. Tinggal remah-remah saja. tempat Harimau dan Gajah saling tumpang tindih berebut satu petak tanah. Diinvasi para pemalak yang tak tinggal di pasar tumpah. Namun di selasar megah perumahan mewah.

Termasuk pula ingatan tentang pembangunan gurun pasir di mana-mana. Orang-orang lebih suka menanam kemarau. Hujan hanyalah mainan anak-anak. Tempat mereka sebentar berkecipak. Lantas pergi tanpa punya lagi kehendak.

Berlembar-lembar ingatan menjadi satu lembar angan-angan mentah. sebagian besarnya menjadi sejarah. Berdarah dan bernanah. Sakit parah lalu dipapah. Menunggu nisannya selesai digrafir. Di pekuburan tempat kelak bumi dimakamkan menjadi menhir.

Bogor, 3 Nopember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline