Kau pergi memunggungiku. Dengan membawa serta kegundahan satu lemari. Berisi banyak hal. Mulai dari lupaku menyebutmu permata hati, hingga alpaku memanggilmu duhai dinda pencuri mimpi.
aku melihat punggungmu pergi. Seolah melihat matahari memasuki atmosfer pekat. Hilang lamat-lamat. Sebenarnya aku tercekat. Tapi aku tipe penjahat yang tak akan mengakui merampok rumah salah alamat.
bersamaan dengan itu, hujan memecah tubuhnya menjadi beberapa bagian. Pada yang menjadi deras, aku lantas menjadi begitu was-was, ketakutan akan banjir yang membuat cemas. Pada yang menjadi gerimis, hatiku teriris, suaranya begitu ritmis dan sedikit mistis.
ini sebenarnya tengah malam. Tapi pagi kepagian datang. Aku seolah melihat embun mulai membantuk sarang. Aku menipu diriku sendiri. Aku tahu itu adalah sisa hujan di dedaunan yang tersoroti cahaya lampu. Berkilau gagu.
kendaraan masih lalu-lalang. Maklum saja ini kota yang tak pernah tidur. kehilangan pembaringannya. Setelah hening kemarin dulu dimakamkan. Untuk kali kesekian.
aku tak melihat punggungmu lagi. Tapi aku melihat cercah senyum yang pecah dari sudut mulutmu yang basah. Rupanya kau telah kembali. Secepat itu lagi.
Jakarta, 17 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H