Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Syair-syair yang Hilang

Diperbarui: 15 Oktober 2018   12:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Syair yang hilang. Terbawa hujan. Hanyut di selokan. Lekat mengendap dalam gelap. Pada lumpur hitam yang pekat. Itulah syair-syair tua tentang kesetiaanyang memikat.

Syair yang hilang. Berhenti melanglang bersama sungsum dalam tulang. Tersangkut di tenggorokan. Terlipat pada kerongkongan. Dicerna tak lepas. Tersendat di jeda nafas. Itulah syair-syair purba tentang segala harapan yang tak tuntas.

Syair yang terlepas. Tersangkut di udara yang malas. Menyinggahi pucuk cemara. Hanya untuk tergelincir pada menara di bawahnya. Berbaur bersama jaringan listrik. Menjadi syair-syair penuh kecemasan dan gelimang intrik.

Syair yang sedih. Mengalir bersama aliran senja yang terasa pedih. Barangkali itu senja terakhir. Sebelum semua hari menjadi fakir.  Kehilangan orang-orang yang mencintai. Karena hati sering sengaja dilukai. Lahirlah syair-syair yang menyatakan penyairnya adalah Rahwana. Dituduh sebagai pelahap segala murka.

Apabila syair-syair dinyatakan hilang. Moksa dari peradaban. Dengan prihatin kita harus mengatakan, dunia yang tersisa adalah cangkang kerang. Tanpa isi, hampa dan hanya tersisa lubang.

Di mana kita menenggelamkan diri di dalamnya. Menjelma menjadi manusia yang merindukan rasa.

Jakarta, 15 Oktober 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline