Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Aku, Hujan dan, Kepundan

Diperbarui: 13 Oktober 2018   19:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tarabrach.com

Jika kau tak berharap aku pulang. Untuk apa aku harus meminjam sayap elang.

Bahkan aku menganyamnya serumit sayap merpati. Supaya aku lebih bisa terbang tinggi. Memindai tempat-tempat cantik yang kelak bisa kita datangi. Melepas-liarkan sunyi. Atau malah mengasingkannya ke tempat tersembunyi.

Dibanding elang yang mengirimkan lengking menakutkan. Merpati lebih mudah membawa berita kegembiraan. Terikat di kakinya yang tak gampang terlepas.  Sebab berita gembira yang terlepas itu punya arti kandas.

Jika kau hanya menungguku datang. Lalu kau kemanakan hujan yang seringkali kau rindukan.

Jelas sekali aku bukan hujan yang riang. Datang berdendang dengan iringan musik klasik. Tanpa disertai rasa sakit. Begitu tenang. Menghanyutkan segala centang-perenang. Hingga ke muara. Tempat segala rasa diaduk sampai tak ada lagi dalam kosakata.

Aku lebih mirip ledakan. Seperti kepundan saat sesak terhimpit. Oleh rasa pahit. Mengalirkan lava yang tak lagi panas. Namun masih saja menyisakan cemas.

Jika kau menaiki tangga langit hanya untuk berhutang lagi pada rumit. Lantas untuk apa aku mengikat batang rotan menjadi sebuah rakit.

Rotan tumbuh pada sebuah inang. Memeluknya sekuat pelukan belalang pada ilalang. Makna suluran rotan adalah pertemuan. Diikat oleh besarnya kemauan. Jadilah sebuah kekuatan rakit yang sanggup menghilirkan keinginan. Kapan saja. Kemana saja. Tanpa berhitung lagi buruknya cuaca.

Semua juga paham. Cuaca adalah simbol dari tekad yang melebihi kerasnya ladam.

Palembang, 13 Oktober 2018


 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline