Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Mati Bahagianya Seekor Anai-anai

Diperbarui: 11 Oktober 2018   18:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku paham yang kau maksud dengan mengejar ketetapan. Layaknya sebuah undang-undang, maka akan berlaku jika telah diundangkan, bukan ketika dituliskan, atau sekedar dikatakan akan.

aku sedang meneliti setiap jejak hujan untuk menujumu. Jejak beraroma melati yang hanya menguar saat matahari timbul ketika hujan berhenti. Itu bukan pelangi. Karena jejak pelangi itu maya. Tipuan warna yang mengelabuhi mata untuk percaya.

tentu aku bukanlah sesuatu yang maya. Apalagi jikalau sekedar menjadi penghibur mata. Aku nyata! Lihatlah, aku juga terluka ketika tersandung kubangan tak nampak di hadapan. Sepertinya rata, tapi ternyata tak terduga menyimpan jebakan.

terus terang saja. Aku menunggu pendulum menyentuh angka yang mana. Tepat saat dentangnya berbunyi seperti ribuan lebah sedang menyengat udara, itulah waktu yang pas untuk bergegas melompati sanggurdi kuda, menarik tali kekang sekuatnya, lalu berpacu bersama angin tenggara.

aku sangat ingin menyaksikan pertunjukan. Tentang perjamuan yang diadakan malam secara dadakan. Karena sajian utamanya begitu istimewa; kau dan senja sedang bermain drama. Tentang hikayat robohnya airmata. Dibangkitkan kembali oleh tatapan mata. Atas nama luput, lupa dan cinta.

Entah mana yang lebih piawai, kau yang begitu gemulai atau senja yang memaniskan perangai. Tapi bagiku keduanya sama-sama membadai. Memporak-porandakan hatiku hingga tercerai-berai. Jatuh terkulai ke dalam ngarai. Seperti kisah mati bahagianya seekor anai-anai.

OKI, 11 Oktober 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline