Kita sepertinya dialiri jenis darah yang sama. Saat kau kesakitan, aku ikut mengrenyitkan kepala. Ketika kau mengaduh terantuk batu tajam, aku merasa kakiku mengalir darah suam-suam. Waktu kau tenggelam dalam pusaran ketidakberdayaan, diriku serasa berada di tengah badai menakutkan.
Tapi kita berbeda. Dalam beberapa hal tentu saja. Kau lebih suka meratapi matinya bunga sementara aku memilih untuk menguburnya. Kau lebih menyenangi bahagia walaupun pura-pura sedangkan aku lebih baik membuang muka sejauh-jauhnya.
Seperti pagi ini. Kau menyapu daun-daun kering di halaman yang garing, sembari bersungut-sungut kenapa mendadak di kepalamu tumbuh banyak lumut. Padahal jelas aku melihat itu bukan lumut tapi sekian banyak tumpukan kabut. Kau menumpuki keinginanmu dengan ketidakpercayaan. Sedangkan aku sudah bersusah payah menimbuni ketidakpercayaanmu dengan pembuktian.
Kita rupanya memang ditakdirkan bersama. Saat kau hendak menuliskan puisi tentang sunyi, jiwaku berangsur menyepi. Ketika kau berniat menguburkan airmata, aku sudah menyiapkan keranda. Waktu kau menyumpahi kenapa kita berbeda, aku tegas mengatakan kita berada di jalan yang sama.
Hanya saja mungkin kita tak menyadarinya.
Tumbang Manggu, 7 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H