Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Fragmen Pagi, Ayahnya Matahari, Ibunya Bumi

Diperbarui: 6 Oktober 2018   09:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

5.30 sepulang dari musholla bersama kakaknya;
Pada kerumunan hujan. Seorang gadis kecil lucu menadahkan tangan. Merasakan jari kecilnya dirambati air. Seolah sentuhan ibunda yang selalu dikhayalkan dalam pikir.

Ibu sedang menyapaku di pagi yang masih lelap dalam kelambu. Barangkali ingin membangunkan aku. Dikiranya aku masih tidur. Ibu tak tahu kalau aku tak mengenal dengkur. Ibu, kalau aku mendengkur, aku takut mimpi tentangmu akan kabur.

6.30 siap-siap berangkat menuju sekolah;
Di hujani cahaya matahari. Gadis kecil itu menengadahkan muka. Menikmati setiap kehangatan yang mengusap lembut wajahnya. Seakan ayahanda sedang memeluk dan menghadiahi ciuman manja.

Ayah juga menyapaku di pagi yang baru terjaga dari pulas. Mungkin ingin menyemangatiku agar bergegas. Menyecap setiap pelajaran. Seolah itu semua adalah kelezatan. Yang jarang aku dapatkan.

Sesiangan gadis kecil itu menatap halaman demi halaman. Pada bukunya yang berkertas buram. Di situ wajah ayah dan ibunya selalu tersenyum samar. Entah darimana. Mudah-mudahan dari surga. Itu adalah doa-doanya.

Sebelumnya gadis itu tak tahu. Ayahnya siapa, ibunya di mana. Semenjak ari-arinya ditanam, dia hanya tahu bahwa dia sendirian.

Sekarang dia mengerti. Ayahnya ternyata matahari, ibunya adalah bumi. Membangunkan tiap pagi dalam kehangatan melebihi perapian. Mengantarnya setiap hari menjemput mimpi yang nyaris dihilangkan. Oleh pikiran bahwa dia yatim piatu. Oleh keputusasaan bahwa harapannya cuma sampai pada titik beku.

Tumbang Manggu, 6 Oktober 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline