Apabila maksudmu aku adalah petualang gila yang mencoba mendaki gunung dengan bekal seadanya. Itu iya. Aku dituntun hati. Tak bisa dicegah dengan kata hati-hati.
Apabila aku kau katakan sebagai pengembara yang mengikuti kemanapun tulisannya pergi. Itu pasti. Aku dipandu tulang sungsum yang dialiri puisi. Juga tarian serimpi yang mengikat kaki.
Apabila kau bilang aku semestinya berhenti di pantai. Bukannya malah pergi ke tengah lautan menantang badai. Kau salah mengerti. Aku digerakkan oleh bunyi. Bukan atas perintah sunyi.
Apabila kau menuduhku sebagai penyamun yang tersesat di belantara lamunan. Itu tak diragukan. Aku dilatih oleh kekuatan elang penakluk. Menyisir laut agar pesisir bukan lagi tempat yang dikutuk.
Apabila kau menantangku menjatuhkan rembulan sementara aku begitu menyukainya saat purnama, aku tetap akan menjatuhkannya. Sebagai gantinya, aku akan meletakkanmu di sana. Tugasmulah membagi-bagi cahaya. Kau punya itu di mata. Sepenuhnya.
Apabila kau menyuruhku menghentikan kesukaanku memuja pagi dan menjeruji sepi, maka ini belati. Tusuklah aku sesukamu. Kalau kau sanggup dirajam pilu.
Begini saja. Tak usah ber-apabila. Mari kita duduk berduaan saja. Disaksikan senja. Apakah terbukti aku pemulung cinta.
Bogor, 24 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H