Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Musim Bergeser ke Tepi

Diperbarui: 23 September 2018   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ini saat yang tepat bagi siapa saja.  Menggulung doa dalam perkamen permintaan akan hujan, memanjati angkasa.  Panas telah melampaui derajat kemampuan.  Kering telah menghanguskan kenyataan.  Cuma sisa satu.  Yaitu menjadi abu.  Itu terserah waktu.

Doa-doa cemara berkumpul di persimpangan langit.  Menunggu doa-doa lainnya.  Memohon hujan bukan perkara kecil.  Permintaannya sungguh besar. Sebesar retakan tanah di sawah-sawah yang menjadi amuba.  Membelah dirinya. Dengan sengaja.

Sayap-sayap kemarau sudah sampai di ulu hati.  Jiwa dan badan mengeriput ciut.  Apakah musim hujan sedang berduka? Terpekur di depan pusara cuaca.  Sehingga lupa bagian bumi di sini nyaris saja mati?

Jika iya, jangan hanya cemara yang mesti mengirimkan doa.  Kita juga.  Para pembuat luka yang sengaja lupa.  Telah menyeret cuaca ke upacara pemakamannya.  Dengan cara-cara keji.  Meski tak disadari.  Atau disadari tapi enggan mengerti.  Atau mengerti tapi tak mau peduli.  Bisa jadi.

Jika tidak, ini hanyalah anomali.  Musim bergeser ke tepi.  Menuju cara kematiannya sendiri.

Bogor, 23 September 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline