Daripada menggenangi telaga, yang tentu akan membanjir suatu ketika, kau memilih reruntuhan airmatamu untuk membangun istana. Bukan istana kesedihan, tapi semacam benteng pertahanan.
Seperti alamo. Benteng itu akan melindungimu dari segala jenis serangan. Terutama ratapan. Bagimu, meratap adalah pilihan terakhir setelah mati. Mati itu usai. Sedangkan meratap selalu saja tak pernah selesai.
Itu dahsyat! Mungkin kau telah diajari Malaikat. Bagaimana cara menjaga hakikat dan kiblat. Hakikat untuk tidak bertekuk lutut. Kiblat untukmu menekuk lutut.
Pada istana itu kamu berjanji. Memagarinya dengan hikayat para puteri yang tak pernah menyerah pada kegagalan. Seperti Dyah Pitaloka yang memilih menghunjamkan kujang ke dadanya sendiri dibanding harus gagal mempertahankan harga diri. Seperti Oei Hu Lan yang memilih dipinang rembulan daripada harus menaiki pelaminan bersama kepedihan. Seperti Misha'al yang rela berjalan ke tiang gantungan demi cintanya kepada Mulhallal.
Pada istana yang disusun dari bulir-bulir airmata itu kamu bersumpah meludahkan api; boleh saja mendung mengurungku ke dalam puncak segala murung, tapi aku adalah puteri yang dilahirkan oleh dinihari dan tak pernah takut untuk bermimpi lagi, meski mimpi itu dulu datang berkali-kali hanya untuk menyakiti. Nama belakangku sekarang pemberani!
Bogor, 21 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H