Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Pada Tepian Laut Pasang

Diperbarui: 17 September 2018   09:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pada tepian laut pasang kita julurkan kaki.  Sekedar dijilati lidah ombak yang menjulur-julur rapi.  Mencari tempat yang tepat untuk memecahkan buih.  Perjalanan panjang menjinjing gelombang sangat membuatnya letih.

Kau sedikit menggigil.  Aku lalu terpanggil.  Mengalungkan hangat dari nafasku yang memberat.  Mudah-mudahan itu cukup bagimu.  Aku belum bisa menyalakan lampu.  Senja sedang tak mau.

Bau garam yang kuat membuat semua hambar yang kita bawa langsung saja menguar.  Kita harus berterimakasih sampai puncak kesungguhan.  Kepada pesisir dan lautan.  Atas segala kebaikan yang didermakan tanpa meminta pembayaran. 

Mereka hanya meminta kita baik-baik saja.  Setelah sekian banyak memainkan drama.

Di mana-mana hambar selalu berkawan dengan pudar.  Kita tak mau berlama-lama menggenggam rasa itu.  Kau takut dicengkeram pilu.  Aku cemas hatiku membatu.  Lalu kita sama-sama menjelma arca yang beku.

Angin datang!  Begitu juga hujan!  Apa yang mesti kita lakukan.  Bersembunyi bukan pilihan.  Berteduh bukan alasan.  Lebih baik kita sambut angin dengan menyampaikan keinginan.  Lebih bagus kita songsong hujan sembari memanjatkan doa, agar kekeringan hanya singgah sebentar sebagai lamunan.

Mereka datang dalam rangka bertanya.  Apakah kita baik-baik saja.

Kita tak harus menjawabnya.

Bogor, 17 September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline