Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Suatu Tempat yang Kita Sebut Pulang

Diperbarui: 17 September 2018   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (KOMPAS)

Kita saling memandang. Di batas langit yang kita sebut pengharapan. Di sana banyak bintang yang meniru kerlip kunang-kunang. Serupa dengan penunjuk jalan. Mungkin ke sana kita harus menuju. Mungkin juga tidak. Kita tidak tahu apa-apa. sebab kita hanya sebatas punya kehendak.

Pagi ini setenang kuburan. Tapi kita tidak sedang menghadiri pemakaman. Di dalam pikiran kita berkecamuk asal mula amuk. Sewaktu-waktu siap meledakkan sesuatu. Bisa rindu bisa juga paku. Tergantung di mana letak hati kita pada saat itu.

Tiba-tiba saja kita sudah berada di tepi pantai yang berangin. Semua terjadi mungkin karena kita sedang bersitegang dengan ingin. Kau mau kecomang menjadi rumahmu, sedangkan aku berharap rumah kita adalah kepompong kupu-kupu.

Di dalam kepompong kita bisa membicarakan banyak hal. Sebelum pada saatnya kita menetaskan banyak kesimpulan. Terhadap perkara-perkara yang tak usah kita sebut lagi perkara. Namun bibit-bibit badai yang mereda tepat pada waktunya.

Begitu rumah kepompong pecah sesuai perjanjian, kita harus segera terbang, menuju suatu tempat yang kita sebut pulang.

Bogor, 17 September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline