Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Merunut Jejak Sunyi

Diperbarui: 15 September 2018   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di malam yang membelukar.  Pada gelap yang mencakar-cakar.  Sunyi meninggalkan jejaknya yang terbakar.  Menyisakan abu.  Di ujung pendulum waktu. 

Hulu dari segala sunyi adalah hati.  Terpuruk pada kedalaman mimpi buruk.  Berulang-ulang.  Seolah elang terbang dengan sayap berpatahan.  Terjungkal.  Tepat di sarang para pemanah yang sedang menyiapkan gendewa.  Mereka sengaja memburu burung perkasa.  Sebagai simbol istimewa.  Bagi para penakluk kisah yang berbahaya.

Di malam yang makin menua.  Pendulum waktu bergerak seperti biasa.  Angka demi angka ditelusuri.  Tak peduli sekalipun ditemukan jejak-jejak sunyi.  

Hilir dari segala sunyi adalah padamnya api.  Disulut sejak mula di perapian.  Diterjang puncak angin musim dingin.  Disertai kabut yang menyemut.  Mengerumuni api seperti sepasukan ngengat sakti.  Apinya mati.  Beranak-pinaklah sunyi.

Di malam yang mulai diusung keranda.  Dinihari menyapa.  Dalam sosok doa.  Seirama dengan ketukan nada.  Ketika pendulum menyetubuhi angka.

Sampailah sunyi di peraduan.  Diiringi tembang kenangan yang menggelisahkan.  Jika sunyi ini tak segera mati, bukankah hati serasa tak berkehidupan?  Lantas bagaimana agar siap menyambut kedatangan pagi? Semua tahu pagi punya ketetapan.  Bernyanyi adalah hal yang paling diinginkan.  Bukan merunut sunyi yang jejaknya tak jelas kelihatan.

Bogor, 15 September 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline