Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Lamunan yang Tercerai-berai

Diperbarui: 7 September 2018   12:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Gelas kopi di hadapanmu masih belum tersentuh.  Kau sibuk dengan lamunanmu yang tercerai-berai.  Terlempar ke pojokan kamar, teronggok di serambi depan dan terpelanting ke halaman belakang.

Di pojokan kamar itu kau menggantung sebuah gambar.   Wajah langit yang memudar.  Kau selalu melekatkan tatapan begitu membuka mata.  Berharap langit itu berubah biru seketika.  Kau sangat menyukainya.  Terutama saat mendung terlalu lama bernaung di kepala.  Bisa-bisa hujan berserabutan menuju mata.

Serambi depan adalah tempatmu menyimpan kenangan.  Di pot-pot bunga yang bergelantungan.  Harapanmu tentu supaya kenangan itu tetap wangi. Sepanjang bunga-bunga itu terus kau sirami.  Menurutmu merawat kenangan itu perlu.  Tak semua kenangan menipu.  Ada satu dua yang bisa dipercaya. Terutama yang begitu lekat dalam dada.

Halaman belakangmu banyak ditumbuhi ilalang.  Sengaja kau biarkan.  Katamu lengan ilalang yang tajam bisa menjagamu dari serbuan masa lalu. Memang selalu begitu.  Masa lalu hampir selalu lewat pintu belakang.  Mengendap-endap lalu menyergap begitu pikiran melayang-layang.  Terjebak dalam lamunan berkepanjangan.  Seperti yang kau lakukan sepagian. 

Tidak ada yang salah dengan melamun.  Tapi jangan biarkan kopi itu mendingin.  Dalam setiap kedinginannya, kopi akan menumpahkan tetes demi tetes semangat.  Minumlah selagi hangat.  Dalam setiap kehangatannya, kopi sanggup mengumpulkan kembali tercerai-berainya hakikat. 

Jakarta, 7 September 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline