Hujan
Curahan hati langit yang tersakiti. Birunya ngilu dilabur kelabu. Pandangannya pada bumi dibutakan. Yang nampak hanya guludan pematang tak beraturan. Dari gumpalan mendung pekat yang tergesa-gesa menyemburkan keringat.
Hujan bukan metafora dari airmata. Sebab hujan airmata tak lebih dari duka yang dihujani kata-kata. Hujan yang sebenarnya justru adalah cipratan suka ria dari kata-kata yang menggenang di mana-mana.
Badai
Seolah meniupkan kekerasan. Gejolak ketidakpuasan atas dunia yang berjalan biasa saja. Tanpa ada hiruk pikuk di dalamnya. Seperti pemakaman sepi di malam hari tanpa cahaya sama sekali. Orang-orang mesti dibangunkan. Terlelap dalam buaian keadaan yang menidurkan, bisa membuat mereka terperangkap dalam lupa. Dan pada setiap lupa selalu ada bagian yang hilang dari ingatan. Berguguran.
Badai bukan hiperbola dari keinginan angin. Angin yang membadai adalah fase terbesar dari ingin di puncaknya dingin. Badai tak pernah berpura-pura menjadi raksasa lalu menelan segalanya. Badai adalah segalanya yang bahkan sanggup menelan raksasa.
Kemarau
Segala penjuru mengeringkan diri. Mengeriputkan dahi dan mengerucutkan hari. Dalam kerut-merut kehausan. Air liur meneteskan garam. Air mata menguap bahkan sebelum menjalari pipi yang sembab. Termasuk juga pecahnya bibir sebelum sempat nyinyir terhadap takdir.
Kemarau bukan majas yang pantas bagi musim panas. Lebih tepat jika diumpamakan pecahan gelas akibat air terlalu mendidih. Menyapih sedih dengan siksa yang lebih perih. Menghamburkan doa-doa yang selama ini dirasa mahal sekali. Sebab pahala dan dosa hanya dianggap sebagai jual beli. Seperti pergantian musim yang datang dan pergi. Tanpa pernah lagi bisa dihitung dengan pasti.
Bogor, 1 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H