Begitulah hukum para pelamun. Bermula dari menggaduhi langit, memperkenalkan sebuah fragmen drama yang rumit, lalu menyeret bintang-bintang yang tak terlindungi sebagai penonton paksa, atas skenario luar biasa tentang sunyi yang mau tak mau mesti segera moksa.
Jika tidak, sunyi akan digerus awan yang nyaris mati. Ke reruntuhan hujan yang ikut menggaduhi langit secara bertubi-tubi. Tak cuma menabuh genderang atas nama musim yang siap berperang. Tapi juga mencipratkan keramaian tak ramah yang sanggup membuat semuanya membasah. Lalu mencari matahari untuk mengeringkan hati. Hati yang basah cepat sekali berairmata. Terutama bila cerita duka terus terusan dijadikan cenderamata.
Siapa yang tak akan tersentuh hatinya. Melihat bulan merangkaki senja agar bisa menjangkau malam tepat pada waktunya. Sebuah pengorbanan atas nama cinta. Setelah memasuki lingkaran labirin tak berpintu juga tanpa jendela. Seakan tak ada akhirnya.
Siapa yang tak akan luluh jiwanya. Saksikan tempias hujan menghempas mata. Terpejam-pejam menahan pilu. Tak sadar bahwa sebenarnya itu adalah rindu.
Tak ada sesiapa menyadari ketika kegaduhan yang menjadi-jadi, ternyata memasuki episode yang separuhnya adalah mimpi. Separuhnya lagi keinginan yang dinyalakan api. Membakar kekosongan. Menghanguskan kesendirian. Di penghujung opera tentang penemuan cinta yang tak berkesudahan.
Bogor, 31 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H