Sesaat aku pikir purnama itu terbuat dari kaca. Sebab cahayanya menyerpih kemana-mana. Berserakan tak ada yang mengumpulkan. Di bawah kolong jembatan. Gang-gang sempit perumahan. Sawah-sawah yang kekeringan. Emperan toko tempat para gelandangan tidur keanginan. Sungguh sangat disayangkan.
Padahal tentu cahaya itu bisa menerangi jiwa-jiwa yang terpuruk. Diuruk musim yang makin lama memburuk. Ditimbun dan ditumpuk-tumpuk. Setinggi gunung sampah yang membusuk.
Purnama dari kaca mudah sekali retak. Pecahannya berhamburan di pipi langit. Menjadi airmata. Dan itu bukan hujan. Karena hujan tak pernah berduka. Itu airmata cuaca. Tidak berair namun mengalir sederas takdir. Menyisakan sedu sedan bagi malam yang terlanjur bersolek. Hendak memamerkan bulan molek.
Berikutnya aku menduga-duga. Barangkali purnama dari kaca adalah bagian skenario langit untuk menunjukkan betapa rapuhnya sebuah fenomena. Apabila tidak dirawat dengan hati-hati. Terutama jika lupa disirami oleh hati yang peduli.
Jakarta, 29 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H