Satu persatu. Deras dan gerimis menarik diri perlahan-lahan. Dari kerumunan hujan. Hanya tersisa ritme air tak berbadan. Dari musim yang berguguran. Menjadi kabut. Meruntuhi setiap debut kenangan yang luput. Dicekam kalang kabut.
Pintamu untuk mensyairkan hujan. Dipenuhi dengan segera. Langit menangiskan puisi. Tentang pintu dan jendela yang terkunci. Di dalamnya banyak sekali kepingan hati nyaris mati. Terperangkap. Dalam kotak-kotak gelap.
Inginmu merubah irama hujan. Menjadi ketukan nada beraransemen kutukan. Dijawab oleh nyanyian sumbang sambung meyambung. Seperti jenazah rindu sedang dilarung. Di sungai-sungai sempit yang terkurung mendung.
Tidaklah mudah membunuh kenangan. Jasadnya tak bisa ditusuk belati. Ataupun diracuni. Bahkan meski dirajam pucuk-pucuk tajam besi. Kenangan tetap saja berpuisi.
Kenangan itu. Hampir selalu mengiringi hujan, senja dan airmata. Sebab di dalam hujan, kenangan merubah diri dalam musik klasik. Sebab di mata senja, kenangan bermetamorfosa menjadi cinta. Sebab pada setiap airmata yang mengalir, kenangan selalu menjadi menhir, bukti sejarah yang tak pernah berakhir.
Setelah hujan reda dengan tangisan puisinya. Ribuan kata-kata menggenangi waktu. Bercampur debu masa lalu. Menjadi adonan rindu yang direkatkan oleh ingatan. Ke dalam ruang-ruang yang tak mungkin sengaja dilupakan. Kecuali jika pintamu berubah, agar bumi menutup lubang-lubang kepundan kawah. Sehingga letusan yang terjadi adalah puisi-puisi gerah penuh amarah.
Bogor, 25 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H