Aku sedang memilih beberapa kata yang tepat untuk meminang perhatianmu. Aku coba mengambilnya dari keajaiban Kafka, barangkali ini bisa mengusir duka. Namun kau menggelengkan kepala. Katamu tak usahlah terlalu hiperbola. Ini dunia nyata. Lebih baik jika kau curi majas terbaik dari pagi. Itu lebih-lebih kusukai.
Baiklah. Aku sisir saja satu persatu frasa bagaimana Sapardi merayu hujan. Mungkin ini sanggup mengalihkan pikiranmu dari kekacauan, setelah kemarau panjang membuatmu kesepian. Tapi lagi-lagi kau menggelengkan kepala. Kau bilang janganlah terlalu bermetafora. Hujan adalah bagian dari harapan. Bukan lagi sisa dari kepingan kenangan. Lebih tepat jika kau meyakinkan musim. Bagaimana sebaiknya tak lagi mempermainkan hati yang mengering.
Lalu bagaimana dengan Gibran? Bukankah penyampaian rasa terbaik bagi seorang kekasih ada pada ratusan kalimatnya yang merintih-rintih. Jika kau sepakat untuk menghilangkan pedih. Aku akan menyitirnya dalam puisi yang berlagak letih. Barangkali itu bisa membuatmu sedikit mendidih. Kau diam. Dari matamu terpancar gelombang spektrum yang mencebik. Sepertinya hatimu semakin tercabik.
Hmm, ini pilihan terbaikmu menyingkirkan sunyi. Aku akan menata barisan filosofi dari Rumi. Di lemari tempatmu menyimpan sebagian mimpi. Aku rasa kau akan setuju. Bukankah katamu kau potongan kecil dari waktu. Menyeret diri pada angka demi angka. Di setiap angkanya kau menitipkan pesan romansa. Terhadap cinta yang kau percaya selalu ada.
Bogor, 19 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H