Sungguh mudah kau meludah. Tak kah kau iba melihat sore memerah karena payudaranya habis diperah? Oleh orang-orang yang berjudi dengan mendung. Taruhannya adalah hujan akan berjatuhan dengan murung.
Setelah meludah kau malah menyebabkan petang kesurupan. Kau susupi benaknya dengan pengetahuan bahwa bulan tak lagi perawan. Kesuciannya direnggut paksa gerhana. Di sebuah fase waktu saat matahari dan bumi tak saling bertegur sapa.
Tapi kemudian kau merayu lupa. Agar tak lagi mengingatkanmu tentang cinta. Kau sudah menyimpannya begitu dalam. Ketika memutuskan kehangatan hati itu cukuplah suam-suam.
Terlalu mendidih membuat jantungmu perih. Memompa lagi ingatanmu tentang pedih. Ketika ternyata senja lebih suka menyatakan cinta terhadap purnama. Tak peduli betapa malam selalu rela menyediakan bahunya. Sebagai tempat bersandar sekaligus melipat cadar. Begitu cahaya purnama perlahan-lahan memudar.
Jakarta, 14 Agustus 2018