Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Tak Lebih dari Anai-anai dan Kucing Rumahan

Diperbarui: 3 Agustus 2018   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tidak tercium bau bunga liar. Tidak nampak bulu halus cendawan beterbangan.  Udara terasa mampat.  Cuaca nampak begitu penat.  Semuanya menggelinjang kepanasan.   Diseduh kemarau yang belingsatan.

Musim hujan masih jauh.  Jangan suruh kemarau menjauh.  Sekalipun hati terlanjur melepuh.  Jangan paksakan keadilan kemudian luruh.  Kemarau punya hak asuh yang sama.  Terhadap musim yang beranak pinak cuaca.

Kala kita berbuat kejam dengan cara merajam cuaca sampai hanya tersisa kekacauan.  Itu sama saja dengan memulakan peperangan yang tak akan pernah kita menangkan. 

Ketika kita bertindak semena-mena dengan menguliti kemarau sejadi-jadinya.  Jangan salahkan bila kemarau menunjukkan sosok yang sebenar-benarnya.  Menguras tuntas keringat dan selanjutnya mengeringkan airmata.

Ketika kita bertingkah semaunya dengan mengurung kebebasan hujan seenaknya.  Jangan salahkan bila hujan sampai meruntuhkan langit atas kemarahannya.  Merendam kekakuan lalu berikutnya menenggelamkan senja.  Pada puncaknya.

Kita bukan lawan yang sepadan bagi mereka.  Kita hanya cecunguk yang jumawa dan sering lupa.  Pendingin yang kita cipta, tak ada guna jika kemarau murka.  Penghangat yang kita reka, sungguh percuma jika dingin tiba dengan membabi buta.

Kita tak lebih dari anai-anai.  Mendatangi api, hangus terbakar, tapi kukuh tak mau berucap damai.

Kita tak lebih dari kucing rumahan.  Mengejar mangsa di air pasang, tenggelam, namun begitu keras kepala untuk mengatakan; kami tak tahu diri, tolong maafkan, beri kami ampunan. 

Jakarta, 3 Agustus 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline