Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Cara-cara Menanti Hujan

Diperbarui: 1 Agustus 2018   19:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sesuai dengan keinginanmu. Menyemai banyak warna abu-abu. Hendak kau sumbangkan cuma-cuma. Kepada mendung berkebaya putih yang bersahaja. Kau sedang mengharap kedatangan hujan. Tanpa perlu ketuk pintu atau uluk salam.

Memang begini. Hutang pada kemarau mesti dilunasi. Dari sepuluh macam bunga yang kau tanam, tujuh di antaranya mati. Jangan coba-coba menghidupkannya. Akan sia-sia. Itu jenis pekerjaan yang hanya datang dari surga.

Kecuali melati. Bunga itu bersedia dengan senang hati menanti. Kuncup-kuncup kecil itu tersembunyi di ketiak sunyi. Menunggu gerimis meledakkan tangis. Pada episode musim yang teriris habis.

Begitu pula kemuning. Pada setiap kerlingnya yang terkurung hening. Tersirat sapa ramah. Memang bunganya belumlah menuntaskan satupun kisah. Namun bunga juga bercita-cita. Bagaimana kisahnya kelak akan melegenda.

Tak kurang juga rumpun kemangi. Mengabarkan wangi demi bersua mimpi. Dan kabar itu sampai juga kepada senja, yang lalu mendamparkan jingga. Di permukaan langit yang mulai memekat. Semua pada akhirnya sepakat, hujan memang tak boleh datang terlambat.

Pekanbaru, 1 Agustus 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline