Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Lima Jejak Senja Ketika Menabur Air Mata

Diperbarui: 24 Juli 2018   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jejak pertama

Yaitu ketika pemakaman dilangsungkan.  Bagi cahaya terakhir matahari hari ini.  Lenyap diusung oleh kesenyapan.  Duka teruntuk kupu-kupu.  Warna sayapnya pudar tersisa abu-abu.  Seperti para perantau yang malang.  Kehilangan jejak jalan pulang.  Airmata mulai berlinang-linang.

Jejak kedua

Ketika upacara perpisahan bagi warna lembayung diumumkan. Muka-muka murung bertempiasan.  Dari langit yang merasa diasapi sepi.  Sebentar lagi semua mata enggan tengadah.  Kecuali bila purnama menampakkan wajah.  Pipi langit perlahan-lahan membasah.

Jejak ketiga

Saat suara parau burung hantu bergerak mengetuk setiap pintu. Mengabarkan cerita kematian apa saja.  Kepada siapa saja.  Terutama tentang betapa dekatnya jarak kematian dunia kepada kita.  Membuat kita semua terpaksa berdoa.  Sambil menyeka sungai yang menuruni pipi kita.  Tuhan sediakan satu tempat bagiku di surga.

Jejak keempat

Waktu persediaan mimpi yang indah menipis.  Seperti betapa langkanya jeruk nipis di musim tanpa gerimis.  Kita menangis.  Merasa tidur tidak lagi berguna.  Karena dalam tidurlah kita bisa bermimpi sekehendak kita.  Melupakan duka dan memunguti bahagia.

Jejak kelima

Senja adalah perbatasan jikalau kita melewati batas.  Ketika kita menguras keringat tanpa batas.  Lupa bahwa tubuh yang kita miliki tak lebih dari lipatan kertas.  Mudah koyak oleh tamak.  Gampang sekali dirobek-robek kemarahan.  Meski setelahnya kita menyesal.  Mohon ampun di waktu malam.  Lelehanairmata lalu disujudkan.

Jakarta, 23 Juli 2018

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline