Menemukan namamu. Di pantulan cahaya matahari. Pada kaca sebuah menara tinggi. Tertulis besar-besar di sana. Lewat isyarat kehangatan. Membuatku tertegun. Aku berharap menjadi embun. Kau uapi aku hingga menyatu dengan udara. Pergi ke atas langit secara sederhana. Tapi bisa melihatmu dengan sempurna.
Menemukan bekas senyummu. Di pucuk teratai ungu. Sedang merenangi pagi. Bersiap untuk mekar. Seolah memberi kabar. Bahwa kau masih memutuskan untuk rindu. Kepadaku. Dan juga terhadap kebisingan yang terasa beku.
Langka. Ketika terdengar cuitan burung di tengah kota. Mungkin mereka sengaja. Kau utus untuk menghiburku yang sedang menyeduh airmata. Atas nama duka yang sebenarnya belum ada. Namun terpengaruh pada cuplikan drama yang memenuhi kepala.
Aku menyusut lelehan keringat yang kepagian. Berusaha keras menghafal masa depan. Berpikir bisa mendahului waktu. Tapi ternyata aku tak beranjak seinchipun dari jepitan batu-batu.
Tolonglah aku. Ulurkan tanganmu. Aku mesti segera terlepas. Agar bisa kembali mengeja namamu dalam setiap helaan nafas.
Bantulah aku melarikan diri dari sunyi. Menuju suatu tempat yang luput dari incaran sepi. Kita bersama akan selalu meramaikan pagi. Dari balik pantulan cahaya matahari.
Jakarta, 23 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H