Kepada rindu aku sempat berkata; ini lubang luka yang pernah kau tinggalkan dahulu. Sekarang menjadi sarang kupu-kupu. Mereka merawat kepompongnya di situ. Kelak bisa menjadi rumah tinggal jika kau bersedia kembali kepadaku.
Kepada kekecewaan aku tinggalkan pesan; seluruh kecemasan ketika kau begitu menyayangiku, mencengkeram erat masa lalu. Aku seperti laksamana yang kehilangan armada. Terkatung-katung di samudera tanpa navigasi. Hanya berbekal petunjuk bintang di langit dan sedikit sisa mimpi.
Kepada cinta aku memaksa untuk mendengarkan sebuah berita; pantai adalah tempat di mana aku pertama kali jatuh cinta. Aku menitipkan semua rasa di istana pasir kwarsa. Aku berjanji akan mencari jejaknya sekuat gladiator, hingga akhirnya kudapatkan tandanya masih menyala seterang obor.
Kepada kenangan aku menulis satu buku penuh mengenai harapan; aku masih bersandar pada satu keyakinan. Kenangan bukanlah genangan yang mudah terbuang ke selokan. Kenangan bagiku tak ubahnya beberapa bait syair yang terekam bersamaan dengan datangnya air yang mengalir. Setelah hujan tak henti-henti dicurahkan oleh mendung tebal yang memerankan dirinya sebagai penyihir.
Kepadamu, ada satu baris kalimat yang mesti kau dengar dengan khidmat; aku rindu kamu karena tentu saja aku cinta kamu, seutuh kenangan yang tak pernah lekang seperti kunang-kunang yang selalu hadir ketika malam tak disinggahi terang.
Kampus Fahutan IPB, 21 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H