Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Ini Semua tentang Gelisah!

Diperbarui: 19 Juli 2018   15:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku jengah.  Melihatmu terperangah.  Kau bilang aku laksana lebah.  Memburu bunga tiada lelah.  Kau sama sekali tak tahu.  Aku sedang diburu gagu. Tak sanggup lagi berkata.  Melihat bunga ternyata dapat bertubuh bisa.

Dari duri jika itu Azalea.  Dari kelopak jika itu Mata Boneka.  Dari biji jika itu Whisteria.  Dari daun jika itu Diefenbacchia.  Semua aku catat tebal-tebal dalam buku harian.  Sebagai peringatan agar aku tidak mudah jatuh tengkurap melihat kecantikan.

Semua yang indah belum tentu menghibur resah jika gegabah.  Semua yang megah bisa saja membawa jiwa rebah apabila kekuatan hati membelasah. Semua yang cantik mungkin menarik tapi mampu mengabarkan terik jika tak bertabik. 

Mataku mungkin terbuat dari kaca.  Mudah pecah ketika bertemu dengan purnama. 

Hidungku mungkin disusun dari pahatan tembikar.  Gampang retak saat membaui dinding matahari sedang terbakar.

Hatiku mungkin dibangun serupa arca.  Membatu seketika waktu melihatmu terperangkap dalam lusinan drama.

Karena itu jangan sekali-kali.  Menyebutku sebagai batu kali.  Aku bisa menggelinding tak terkendali.  Tanpa bisa berhenti kecuali dihadapkan pada sunyi.  Sunyi adalah hakim tertinggi.  Bagi segenap rusuh di kepala.  Menghukum tanpa ampun seperti diseret empat kuda.  Laksana zaman dahulu kala.

Tercabik.  Dalam rahang ular derik.

Tersayat. Pada cakar burung nazar.

Terbelah. Di mulut para penjarah.

Jangan pernah berziarah!  Pada makamku yang dinisani oleh amarah!

Jakarta, 19 Juli 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline