Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi │Cuaca Merintih Meminta Mati

Diperbarui: 15 Juli 2018   08:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pixabay.com

Pucuk cemara meneteskan airmata. Dari sisa embun terakhir yang sanggup bertahan. Inilah tangisan kemarau. Meraung-raung di pemakaman hujan.

Angin mengering dipanggang matahari. Pergi kemanapun membawa pemantik api. Jangan sekali-kali menyinggung musim tentang harga diri. Mudah saja baginya menghanguskan hati. Sekaligus juga menyalakan sunyi.

Permukaan langit sehalus kaca. Tanpa bercak tanpa onak. Bercerminlah di sana. Kau akan menemukan wajah-wajah tamak mencurangi cuaca.

Itu adalah pantulan dari orang-orang yang mampu membuat bumi menjadi beku. Dengan menghabisi hutan, mencukur perbukitan, memanasi kutub, menyampahi laut. Atas nama almanak peradaban.

Permukaan samudera seolah bianglala. Warna-warni dari botol dan kantong plastik dipajang di puncak gelombangnya. Seolah berlangsung sebuah pameran. Katanya ini adalah kemajuan.

Cuaca merintih meminta mati.  Kelelahan. Tak sanggup memutar dingin dan panas secara beraturan. Tubuhnya koyak moyak tak karuan. Tertatih-tatih mohon pengampunan.

Bogor, 15 Juli 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline