Air sudah mendidih. Tolong tuangkan aku secangkir kopi. Aku perlu setiap hitamnya untuk mewarnai hatiku yang memucat. Aku butuh setiap pahitnya untuk menyadarkan bahwa manis di lidahku ini adalah kamuflase dari oase yang terlihat memikat.
Aku ada di tepian gurun. Di hadapanku penuh pasir penyamun. Siap melanun segala keinginanku yang cenderung majnun.
Tadi pagi aku menyempatkan diri meludahi ketidakberuntungan. Mimpiku gagal berwujud. Mimpi menjadi seseorang yang bertiwikrama menjadi raksasa pelahap setiap kekhawatiran dan mengubahnya menjadi kegembiraan. Buktinya sekarang aku dipagut kecemasan.
Mungkin karena aku berharap terlalu banyak pada ingatan tentang angsa berbulu bersih yang merenangi danau jernih. Pemandangan indah yang terlalu mudah. Padahal bisa saja mereka sedang merenangi kesunyian, yang dikumpulkan oleh dasar danau yang kedinginan.
Tapi tak apa. Di hadapanku sudah tersedia kopi sepanas matahari. Aku akan mulai berlari. Membarengi angin musim kemarau yang sedang menjemput hujan. Menuju dangau yang dibangun dari kumpulan cita-cita besar. Disanalah tempat yang tepat untuk mendidihkan kemauan.
Jakarta, 10 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H